by Karen Kamal

Embun Yang Terlambat

Daniel terlihat rapi seperti biasanya padahal hari itu sedang hujan deras di luar. Kerah kemejanya disetrika rapi sampai tidak akan bisa ditemukan secuil benang yang mencuat dari sana. Ia menyeruput cappuccino panasnya pelan-pelan. Sesekali asap dari cangkir kopinya membuat embun halus di kacamatanya yang tak berbingkai. Namun sepertinya itu tidak mengganggunya sama sekali. Daniel tetap konsentrasi membuat coretan-coretan pada tumpukan kertas di hadapannya. Tampaknya ia sudah lama menghabiskan waktunya di tempat duduk yang sama di sebuah coffee shop.

“Daniel..,” sebuah panggilan halus dari wanita langsing semampai yang sudah berdiri di sebelahnya tak juga membuatnya menoleh. Ia sudah kenal betul suara itu. Wanita itu juga tidak merasa terganggu oleh sikap diam Daniel. Ia malah mengambil tempat duduk tepat di seberang meja kopi Daniel.

“Aku tidak mengerti mengapa kau menghabiskan waktumu mengedit semua tulisan ini padahal kau sendiri bisa menulis ceritamu sendiri?” tanya wanita itu sambil melihat-lihat beberapa lembar kertas di atas meja dan jelas sekali ia tidak tertarik. Daniel tak kunjung menjawabnya. Wanita itu kelihatan mulai tidak sabar dan mengetukkan hak tingginya beberapa kali ke lantai sehingga membuat suara gaduh. Anehnya hal itu yang membuat Daniel akhirnya membuka suara.

“Bukankah kau ada kegiatan lain yang lebih penting ketimbang hanya menggangguku, Pam? Coffee shop ini sedang ramai-ramainya dan kau membiarkan pegawaimu bekerja sendiri? Pergilah. Aku akan menemanimu mengobrol setelah pekerjaanku selesai.”

Akhirnya Pam menyerah dan beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan ke counter dan kembali membawa secangkir kopi untuk Daniel. Pam tahu Daniel hanya meminum cappuccino panas buatannya. Ia pernah menyuruh salah seorang pegawainya membuatkan kopi itu untuk Daniel, namun rupanya ia tahu bedanya. Sampai detik ini Pam masih penasaran apa arti dirinya bagi Daniel.

Pam sudah kenal Daniel sejak kuliah, jauh sebelum Daniel bertemu dan menikah dengan Diana. Sudah selama itulah Pam mempunyai perasaan untuk Daniel. Entah mengapa Daniel seperti pura-pura tidak tahu kalau Pam menyukainya sejak dulu. Saat kematian Diana, kesempatan tidak juga terbuka bagi Pam. Sesungguhnya Pam adalah wanita yang menarik. Ia cantik, pintar, mempunyai karir yang menjanjikan, dan tubuhnya adalah idaman para pria. Bagi Pam, hanya Daniel seorang yang ideal bagi dirinya. Ia menolak berbagai ajakan kencan karena tidak ingin dirinya terikat dengan lelaki lain dan menutup kesempatan untuk membangun hubungan dengan Daniel.

Daniel sendiri tidak pernah mengakui dirinya tidak tertarik pada Pam, tapi juga tidak pernah mengakui dirinya tertarik. Daniel pernah memukuli seorang pria yang mencoba mencium Pam saat mereka masih kuliah. Semakin hari Pam semakin dibuat bingung oleh sikap Daniel. Daniel tahu betul betapa hancurnya hati Pam saat ia memutuskan menikahi Diana. Daniel jatuh cinta pada Diana pada pandangan pertama. Gadis itu terlihat cantik sekali duduk di bawah salah satu pohon yang ada di taman kota.

Walaupun begitu banyak hal yang sudah terjadi, Pam tetap menyayangi Daniel. Ia setia mendampingi Daniel ketika Diana meninggal saat melahirkan bayi mereka. Daniel kehilangan keluarganya yang bahkan belum ia pahami karena semuanya terjadi begitu cepat. Pam sudah bersikeras akan tetap di sisi Daniel apapun yang terjadi, apapun yang harus ia tanggung, termasuk semua sakit hati ketika Daniel menolaknya.

ϕ ϕ ϕ

Tidak terasa 3 jam sudah berlalu sejak Pam menyuguhkan cangkir kedua untuk Daniel. Pam kembali berjalan ke tempat duduk Daniel.

“Sudah cukup aku memandangi punggungmu dari tadi.”

“Aku tidak pernah menyuruhmu mengamatiku kan, Pam? Memangnya aku ini bakteri yang harus selalu kau amati di bawah mikroskop? Ayo sekarang katakan apa yang mau kau lakukan, Pam.”

Daniel terlihat sudah lebih lembut ketimbang 3 jam lalu, saat ia masih sibuk dengan tumpukan naskah yang harus ia edit. Anehnya kali ini Pam yang terdiam, sampai Daniel menurunkan kacamatanya yang sedari tadi bertengger di hidungnya yang mancung.

“Aku.. err, aku.. Ayo kita pergi minum-minum saja malam ini,” jawab Pam ragu.

“Baiklah.” Daniel cepat mengiyakan. Pam agak bingung, yang penting Daniel sudah setuju pergi dengannya malam ini.

Ini bukan pertama kalinya mereka minum bersama. Pam dan Daniel sudah beberapa kali minum bersama dan frekuensinya meningkat sejak kematian Diana. Tak lama kemudian Pam sudah kelihatan mulai mabuk. Begitu pula Daniel, tapi ia masih mampu berbicara dengan sadar. Pam agak sempoyongan waktu berjalan ke arah toilet, namun ia meyakinkan Daniel bahwa ia masih bisa berjalan sendiri.

Saat Pam menghabiskan waktu agak lama di toilet, Daniel sudah mulai curiga dan memutuskan menyusul Pam. Benar saja kekhawatirannya. Beberapa pria mencoba menarik Pam ke kerumunan orang-orang yang sedang asik berdansa. Pam yang sudah mabuk tidak sadar dirinya mulai disentuh pria-pria bajingan itu. Daniel sangat marah dan berjalan dengan cepat ke arah Pam dan menarik tangannya dengan kasar. Pria-pria yang tadinya masih mencoba menyentuh Pam, tiba-tiba sadar bahwa wanita itu mau dibawa pergi oleh Daniel dan mulai membuat keributan. Mereka bergantian mendorong Daniel dan menarik Pam kembali ke kerumunan. Daniel yang tadinya sudah mulai emosi, sekarang benar-benar sudah gelap mata. Ia mulai memukuli dan menonjok beberapa pria tersebut. Karena kalah tenaga, ia dibalas bertubi-tubi.

Untung saja pemilik bar cepat menyadari situasi dan memanggil penjaga keamanan untuk menghentikan kekacauan. Salah seorang pegawai bar memanggil taksi untuk Pam dan Daniel. Pam sudah mulai sadar dari mabuknya selama perjalanan pulang. Melihat Daniel yang babak belur, sepertinya ia menyadari kekacauan yang telah ia buat.

“Daniel. Aku sungguh-sungguh minta maaf,” kata Pam sungguh-sungguh.

Daniel tidak menjawabnya dan hanya tetap diam selama perjalanan dalam taksi yang membawa mereka kembali ke apartemen Daniel di tengah gelapnya malam.

ϕ ϕ ϕ

Sesampainya di apartemen Daniel, Pam cepat-cepat mengambil kantung es untuk mengompres memar di wajah Daniel. Pam agak takut-takut menaruh kantung es itu di pipi Daniel tapi langsung ditepis kasar oleh Daniel.

“Aku minta maaf. Aku tidak tahu aku telah membuat kacau segalanya,” Pam mulai terisak.

Daniel tetap diam dan isak tangis Pam semakin kencang di tempatnya berdiri.

“Aku sungguh-sungguh minta maaf. Katakanlah sesuatu. Kamu boleh marah. Pukul aku kalau perlu. Tapi jangan diam saja. Aku tidak tahu harus berbuat apa.”

Tiba-tiba Daniel menarik tangan Pam dan memeluknya erat sekali di dadanya. Pam bisa merasakan denyut jantung Daniel yang keras sekali. Ia merasa ia masih agak mabuk dan otaknya masih terlalu lamban untuk bisa memahami situasi di dalam apartemen tersebut. Mengapa Daniel malah memeluknya? Seharusnya Daniel marah pada dirinya, membentaknya karena kelakuan bodohnya di bar tadi.

“Jangan menangis, Pam. Sudah tidak apa-apa,” kata Daniel lembut sekali.

“Daniel, aku tidak paham,” Pam menggeleng kepalanya, masih dalam isak tangis dan air mata yang membanjir di wajah cantiknya.

“Kau tahu, air mata itu menutupi pantulan cahaya yang biasa kulihat di matamu itu. Jadi berhentilah menangis.”

“Apa yang sedang terjadi? Jangan mempermainkanku, Daniel. Kamu tahu betul aku sangat menyayangimu sejak kita kuliah dan perasaan itu tetap sama waktu kau menikahi Diana dan tetap sama sampai sekarang. Jangan memberiku harapan kalau kau tidak bersungguh-sungguh.”

Daniel tidak menjawab. Ia malah mengelus rambut Pam dan menatapnya lama.

“Kau sungguh-sungguh tidak tahu kalau aku juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu, Pam? Apa yang membuatmu tidak berpikir bahwa aku juga menyayangimu? Apa yang membuatku mempertahankan kamu di sisiku? Kau pikir kenapa aku hanya meminum cappuccino buatanmu. Kenapa aku lebih banyak menghabiskan waktuku di coffee shop mu daripada di kantor? Memang salahku kalau aku tidak pernah mengatakannya padamu, Pam. Aku menyayangimu. Bahkan ketika aku menikahi Diana.

“Aku menikahinya karena ia mengandung anakku, Pam. Situasi membuatku terpojok. Aku tidak pernah mau ataupun sengaja melukai hatimu. Saat melihatmu sedih, hatiku jauh lebih terluka darimu. Rasanya aku ingin berteriak agar kau mengerti. Hatimu yang lembut itu terlalu menyayangiku sehingga kamu tidak menyadari kalau aku juga menyayangimu. Aku mencintaimu, Pam.”

Daniel mencium kening Pam agak lama. Pam masih belum bisa berkata-kata tapi ia sudah tidak terisak sekeras tadi. Daniel tidak juga melepas pelukannya tetapi Pam menjauhkan dirinya sedikit agar dapat melihat Daniel lebih jelas. Ia tidak sadar dirinya sudah menciumi bibir Daniel. Keduanya saling mencintai dan dilanda nafsu akan satu sama lain.

Daniel menggiring Pam menuju kamarnya dan mereka tetap berpelukan dan berciuman lama sekali sampai Daniel mulai melepas gaun Pam perlahan. Ia hanya akan melakukan hubungan sex kalau Pam mengijinkannya. Namun sepertinya Pam juga menginginkannya. Kali ini Daniel menciumi Pam lebih berhasrat dan menyentuh tiap inci tubuh Pam yang memang indah. Sudah sejak lama Daniel menginginkan Pam dan sebaliknya. Keduanya berbaring dan masih berpelukan setelahnya.

“Pam, bagiku kau sama halnya dengan embun yang menyegarkan saat kita membuka mata dan menyambut pagi hari. Kamu selalu menghiburku dan menyemangatiku ketika aku mengalami kesulitan. Aku bersalah telah membuatmu menunggu begitu lama. Kali ini, biarkan aku yang menjadi embunmu, meskipun aku terlambat, Pam.”

 

Ditulis di Jakarta, Indonesia pada tanggal 13 Juli 2012

 



2 thoughts on “Embun Yang Terlambat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *