Kita tidak pernah tahu kapan tinta hitam itu akan menuliskan puisi atau menodai kemeja putih. Kita hanya tahu ia berwarna hitam pekat. Saking pekatnya kita ragu elemen sehitam apa yang membuatnya seperti itu. Ia berkarakter dominan, namun terlalu misterius. Kata-kata yang digoreskan di atas kertas putih hanyalah ekspresi sekedarnya. Sekali lagi, tidak bisa ditebak.
Tidak semua bisa ditulis dengan tinta hitam. Si penulis terlalu takut ia dipahami pembacanya, maka ia memakai kata-kata dan memainkannya dengan tinta hitam. Ia begitu terkontrol, begitu dikekang agar tetap diam. Ia ingin berontak namun tak mampu. Ia senang dengan kebebasan dan kemerdekaan, ia tidak setia, namun takut orang lain akan meninggalkannya jika ia melakukannya.
Hati manusia seperti itu, seperti tinta hitam.
Jika kau mengerti kata-kataku sekarang, mungkin aku sedang membiarkan tinta hitamku berkata-kata dan bukan aku.