by Karen Kamal

Cerita Stay-at-Home Mom versi Karen

Setiap Ibu pasti ada dilemanya masing-masing, baik itu working mom ataupun stay-at-home mom. “Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau” itu ada benarnya bagi para ibu. Sebagian working mom merasa stay-at-home mom lebih mudah karena bisa sepenuhnya fokus menjaga anak dan bagi sebagian stay-at-home mom berpikir betapa menyenangkan bisa menjadi working mom karena bisa tetap produktif bekerja. Kenyataannya, working mom selalu khawatir akan anaknya yang dititipkan untuk dijaga oleh kakek atau neneknya maupun nanny. Dan tentu saja, stay-at-home mom selalu merasa jenuh.
 

Setelah menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga (baca: Stay-at-Home Mom) selama 11 bulan ini, saya menyadari ini salah satu macam pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Apalagi dengan kegiatan saya sebelumnya yang full-time bekerja sebagai profesional di kantor. Perubahan 180 derajat ini sempat membuat saya stress. Sebelum melanjutkan tulisan ini lebih jauh lagi, saya perlu mengingatkan ini hanyalah tulisan (dari perspektif saya pribadi) yang menggambarkan sekilas yang dihadapi Stay-at-Home Mom, baik yang mendapat bantuan dari helper atau tidak.
 

Untuk beberapa bulan pertama di rumah mungkin terasa menyenangkan karena akhirnya bisa beristirahat dari kesibukan yang tidak berujung. Praktisnya sejak kehamilan bulan ke 3, saya hanya di rumah saja. Betapa tidak stress, kegiatan saya yang sebelumnya beragam dan selalu dinamis, sekarang saya dihadapi dengan rutinitas yang itu-itu saja.
 

Pertama-tama, rutinitas ini bukan saja sangat membosankan tetapi juga sulit. Saya selalu kagum dengan Mom yang mampu membagi waktunya antara menjaga anak dan masih tetap produktif bekerja dari rumah. Kedengarannya mungkin mudah kalau sudah ada rutinitasnya tapi jadwal tersebut yang justru membuat aktivitas stay-at-home mom seakan tidak ada habisnya. Bangun, memasak makanan anak, memandikan anak, memberi makan, menyusui, mengganti popok dan seterusnya. Belum lagi yang anaknya masih di bawah 1 tahun dan masih minum ASI.
 

Kedua, yang paling sering terjadi adalah stay-at-home mom merasa kesepian karena sehari-hari hanya menghadapi anak yang notabene jarang terjadi hubungan atau pembicaraan dua arah dengan orang dewasa lainnya. Maka jangan heran kalau biasanya ibu-ibu cenderung lebih bawel atau cerewet karena mereka perlu tempat untuk mengeluarkan unek-unek mereka. Pada situasi saya saat ini, kebetulan kebanyakan teman-teman saya memakai bantuan nanny sehingga tidak banyak yang bisa relate.
 

Bagi saya pribadi, dibanjiri dengan perasaan jenuh dan kesepian ini, alhasil saya menjadi lebih emosian atau moody. Saya jadi lebih sering mengeluh atau marah tanpa sebab kepada suami. Bagi orang lain mungkin saya tampaknya tidak mensyukuri keadaan tapi sesungguhnya bukan itu masalahnya. Layaknya seseorang yang terpenjara di rumah sambil menjaga anak, saya merasa kewalahan dan penat. Sudah tidak terhitung seringnya saya bertengkar dengan suami dengan alasan yang tidak jelas.
 

Saya tidak memungkiri sejak kelahiran anak pertama kami, prioritas pertama saya adalah anak, bukannya suami dan itu merupakan kesalahan besar. Padahal saya sadar betul semenjak dulu bahwa seharusnya suami yang menjadi prioritas pertama. Alih-alih berhubungan badan, komunikasi kami pun terkadang menjadi agak kaku atau terkadang terputus karena terinterupsi oleh anak kami. Hampir tidak pernah ada lagi kencan malam minggu. Saya menyadari betul mengenai hal ini tapi tidak benar-benar mengusahakan hubungan kami karena saya pikir nanti ada saatnya setelah anak sudah lebih besar dan kita punya waktu lebih banyak berdua. Lebih baik yang satu ini jangan ditiru.
 

Konsekuensi lainnya adalah saya beberapa kali menangis karena hal sepele atau karena mengasihani diri sendiri. Merasa terjebak dalam ruang bermain anak dan tidak bisa melakukan apapun sedangkan suami saya tetap bisa bekerja, punya waktu untuk dirinya sendiri atau mungkin mewujudkan targetnya. Sedangkan saya hanya dapat mencuri-curi waktu saat anak sedang tidur siang. Kalaupun saat malam hari anak tidur, saya sudah terlalu kelelahan setelah menjaga anak seharian.
 

Yang paling membuat saya tertekan adalah saat saya menceritakan kekesalan saya kepada suami tentang kejenuhan yang saya rasakan, ia malah menanyakan kembali apa yang sebenarnya ingin saya capai atau lakukan. Dengan pikiran logika saya, bagaimana dengan rentang waktu tidur siang anak saya yang hanya 2 kali sehari dan masing-masing 30 menit, saya bisa berpikir sambil mengeksekusi rencana saya. Di lain kesempatan, akhirnya suami saya hanya menyarankan untuk menikmati saja semua fasilitas yang ada. Online shopping, nonton televisi (lagi-lagi saya dibatasi oleh pikiran screentime anak), main game atau baca buku (anak saya biasanya akan mengambil apapun yang sedang saya pegang dengan paksa).
 

Di balik semua perasaan atau output yang terjadi, sesungguhnya ada ketakutan (insecure) dalam hati stay-at-home mom, sehingga kesannya banyak alasan atau ini tidak bisa, itu tidak bisa. Ketakutan akan self-esteem yang menurun karena ketinggalan (missing out) dalam karir atau dunia bisnis semenjak hamil dan punya anak, ketakutan akan suami yang sudah tidak tertarik lagi dengan penampilan istrinya atau tidak lagi perhatian, dan masih banyak jenis ketakutan lainnya. Bagi saya pribadi, saya begitu ketakutan anak saya diperlakukan tidak baik oleh nanny sehingga sampai saat ini saya tidak setuju untuk mencari helper dan tidak percaya diri untuk kembali terjun bekerja. Saya tidak lagi percaya diri akan kemampuan saya sendiri setelah lama tidak hands-on di dunia nyata.
 

Menyadari hal ini, hal pertama yang saya coba lakukan adalah mendorong diri saya sendiri untuk lebih berani keluar dari zona nyaman saya di rumah sehingga saya punya pandangan yang lebih luas, berteman lebih banyak orang. Tentu saja lebih repot, lebih lelah membawa semua keperluan anak dan stroller-nya tapi memang patut dicoba.
 

Pada akhirnya tentu semua pemikiran yang saya ungkapkan mungkin ada benar atau tidaknya, karena bagi tiap-tiap orang posisinya sebagai stay-at-home mom tentu berbeda. Bagi sebagian orang justru menjadi stay-at-home mom adalah posisi yang paling nyaman karena dia menikmati waktu bersama anaknya.
 

Pesan terakhir dari saya bagi sesama stay-at-home mom, cobalah keluar dari rumah lebih sering, berteman lebih banyak orang. Kalau kata suami saya, coba “hack your life” dengan menikmati segala fasilitas yang ada atau bahkan coba cari fasilitas yang bisa membuat hidup lebih menyenangkan, baik itu main game, nonton drama. Kurangi membandingkan kehidupan diri sendiri dan anak dengan mom lainnya. Kurangi rasa bersalah kalau memang sedang jenuh, just let it out once in a while.
 

Untuk para suami, bersabarlah menghadapi istri terutama stay-at-home mom yang terkadang berkecamuk, overwhelmed dengan perubahan hormonal, mood dan emosi yang sesekali bergejolak. Coba dengarkan curhatan hatinya tanpa menambah beban atau tekanan. Sesekali tidak ada salahnya ajak keluar, berwisata, atau bahkan sekedar menikmati secangkir kopi simpel di cafe dekat rumah. Beri perhatian lebih agar percaya dirinya kembali. Jangan jemu-jemu mengingatkan bahwa ia adalah ibu dari anakmu dan ia adalah wanita yang kuat. This too shall pass.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *